Dimana kau, Mat Kriwul?
Oleh: Didik Winarko
Pagi ini aku datang lebih awal dan langsung ke kebun belakang untuk menyambung entres jambu air. Sebagian ranting kupangkas kemarin sore, saat semua teman dan guru sudah pulang. Sesaat sebelum siswa lain berdatangan, penyambungan itu kutuntaskan. Sempat kulihat sambungan pada pohon mangga yang kulakukan sebelumnya menunjukkan hasil yang menggembirakan. Aku pun segera bergegas ke kelas.
Sesampainya di kelas, kudapat kabar
kalau aku dicari lagi oleh guruku. Ya, memang sudah sering aku dipanggil ke
ruang guru atau ke BK dan diberi sanksi atau mendengarkan bermacam “nasehat”
untuk menjadi siswa yang baik. Kali ini Pak Tikno yang memanggilku. Beliau termasuk
guru yang membosankan dan mudah tersinggung. Materi yang diajarkannya kuanggap tidak bermanfaat
karena tidak aku butuhkan ketika aku
bekerja nanti. Pagi ini aku sudah ditunggu oleh Pak Tik dan wali kelasku.
Oh ya, namaku
Ahmad Jauhari, tetapi
lebih dikenal sebagai
Mat Kriwul karena
rambutku yang keriting. Di sini, yang mulai dan memanggilku Mat Kriwul
adalah teman-teman dari sekolah asal yang bersekolah di sini. Nama ini begitu
terkenal hingga aku yakin banyak yang tidak tahu nama asliku.
Sebenarnya yang membuat aku menjadi populer
bukan karena tampilan
rambut, tetapi karena cap
yang terlanjur kusandang selama ini. Hampir semua guru mengenalku sebagai murid pendiam
tapi sulit diatur dan suka bertindak semaunya
sendiri. Mereka menganggapku antisosial karena aku selalu
pasif kala bekerja kelompok.
Aku pasif karena selalu dimasukkan dalam
kelompok yang sama dan kuanggap tidak cocok. Rata-rata mereka lebih suka mendominasi karena menganggap dirinya paling pandai. Permintaanku untuk mencari kelompok sendiri atau
pindah ke kelompok lain sering ditolak.
Banyak guru yang kubuat jengkel karena
argumenku kala aku dinasehati. Mungkin mereka jengkel karena aku jarang
mengerjakan tugas. Jika terpaksa, aku kerjakan secara singkat dan sering tidak
sesuai dengan prosedur yang ditentukan. Kuakui bahwa aku sering melarikan diri
dari pelajaran untuk tidur di gubuk penyimpanan pupuk atau sekedar
mengutak-atik tanaman di kebun belakang. Dan tahun ini adalah tahun keempat aku
bersekolah di sini. Tahun ajaran kemarin hampir satu semester kutinggalkan
kelas karena jenuh yang amat sangat. Putusan yang akan kuterima pun sudah
jelas.
Lalu
pagi itu, aku keluar dari ruang guru dengan berbagai
rasa yang berkecamuk. Masih terngiang suara parau Pak Tik yang
ditingkah nada tinggi. Terbayang rona merah beliau saat aku berterus terang
alasan meninggalkan jam pelajaran dan apa yang aku lakukan.
Dengan
hati-hati kusampaikan bahwa aku kurang
senang dengan materi yang diajarkan sehingga tidak bisa menahan kantuk.
Kusampaikan pula jika tertidur di dalam kelas
pasti akan
dimarahi. Tapi, tidak aku sampaikan keyakinanku bahwa mata pelajaran
beliau hanya menjadi beban karena tak kulihat
manfaatnya bagiku.
Masih terdengar komentar sumbang guru
lain saat kusampaikan jawaban tersebut. Mereka bilang itu alasan yang sengaja
kubuat karena sering membolos. Mereka ikut menghakimi aku. Ada mengingatkan
bahwa aku belum mengumpulkan tugas. Ada yang mengatakan bahwa aku tidak punya
niat belajar. Akan lebih baik jika aku pindah sekolah karena sudah sering aku
bertingkah seperti itu.
“Daripada nantinya
tidak naik kelas.”
Itu ucapan yang masih membekas.
Tertekan menghadapi berbagai pertanyaan,
tagihan tugas, dan berondongan nasehat, aku sempat utarakan keinginanku untuk
keluar dari sekolah. Mendengar ini, berbagai reaksi bermunculan. Ada yang
membisu, sebagian tertawa karena ini dianggap lelucon, ada pula yang berseloroh,
“Jika putus sekolah, kamu mau
jadi apa, Le?”
Aku diam mendengarnya karena aku malas
memberikan tanggapan. Tekadku sudah bulat tidak melanjutkan di sekolah ini. Begitu persidangan usai, aku meninggalkan ruang guru.
Baru sepuluh langkah, kudengar panggilan
dari Pak Arifin, wali kelasku. Aku tertegun karena beliau memanggil namaku,
bukan nama julukanku.
“Jauhari, setelah pelajaran jangan
pulang dulu. Ada yang mau saya bicarakan di ruang konseling”
Siang itu aku menunggu Pak Arifin. Pak
Wawan, salah satu guru BK, mencoba mengajakku berdialog. Namun aku hanya
merespon singkat saja. Sebagian pertanyaan enggan kujawab. Begitu mendengar
berita bahwa Pak Arifin mendapat panggilan ke kantor dinas, aku pun bergegas
pulang.
*****
Hari itu aku dan Hasan, sesama petugas kebersihan sedang mengangkut kompos ke gudang di kebun belakang. Sebuah gudang yang kurang layak karena didirikan dari bongkaran blandaran dan usuk yang tidak terpakai. Juga kubuat dipan kecil untuk beristirahat di selah kesibukan merawat tanaman.
“Cak No,
si Kriwul lagi asyik tidur.
Pasti dia bolos lagi. Ayo kita laporkan
saja biar gudang ini tidak terus menerus dijadikan
tempat membolos.”
“Biarlah San, kita tuntaskan dulu
pekerjaan kita. Nanti saya coba bicara dengannya” jawabku sambil menurunkan
kompos.
Lalu
kuajak Hasan untuk
mengambil kompos yang masih tersisa
satu angkutan lagi. Saat
kembali, kulihat si Kriwul sudah menata rapi karung kompos.
“Kali ini kamu bolos pelajarannya siapa, Wul?” tanpa
basa-basi Hasan langsung bertanya.
“Kalau ketahuan
kau di sini, kami juga akan kena getahnya.” Aku menambahkan.
“Maaf ya, Cak Hasan dan Lek Gino.”
Aku dan Hasan
hanya menatapnya dengan pandangan yang meminta jawaban.
“Biasa Pak Tik. Paling hanya bercerita hal-hal yang tidak berhubungan dengan
pelajaran.
Habis itu kita diminta mengerjakan tugas dan dikumpulkan. Lebih baik di sini saja.”
Itulah momen awal Mat Kriwul mulai
terbuka kepada kami. Kriwul terbiasa memanggil rekan kerjaku dengan sapaan “Cak” karena memang usia Hasan masih
muda, baru setahun lulus dari SMA dan tidak bisa melanjutkan kuliah. Sedangkan
aku dipanggil “Lek” karena menurutnya
wajahku mirip dengan pamannya. Dan usia kami sebaya.
Sejak pertemuan itu Mat Kriwul sering
membantu merawat tanaman serta memperindah tampilan gudang dengan coretan
grafitinya yang terlihat unik dan artistik. Ini dilakukan di saat lari dari
pelajaran. Sesekali, dia juga membantu kami sepulang sekolah. Beberapa papan
nama tanaman pun dia buat dengan desain yang unik. Kesenangannya menotak-atik
tanaman kami biarkan karena kami lihat bakatnya yang luar biasa.
Sering
kali Kriwul pada jam
istirahat membantu memperbaiki mesin
pemotong rumput tua yang sering macet.
Jika belum tuntas,
dia akan menuntaskannya setelah selesai pelajaran atau ketika rasa bosannya
terhadap pelajaran kambuh lagi. Kesempatan ini kami gunakan untuk mengenal
lebih jauh tentang
dirinya. Dengan berbagai
cara, kami sampaikan keinginan kami untuk melihat Mat Kriwul berubah menjadi lebih
baik dan tidak membolos dan menentang gurunya. Kami sampaikan keinginan kami
untuk bisa menyaksikan Mat Kriwul yang kelak menjadi orang sukses.
Dari situlah kutahu nama aslinya. Aku
mulai bisa memahami siapa dia sesungguhnya. Dia anak yang cerdas, ulet, dan
punya kepedulian. Dia kreatif dan punya keinginan kuat mengembangkan
ketrampilannya. Dia tidak terpengaruh dengan cap negatif yang disandangnya dan
tidak mempedulikan penampilannya. Seragam sehari-hari yang kenakannya terlihat
kusut mulai pudar. Termasuk pula kondisi sepatunya. Namun, dia tetap berupaya
pakaiannya tetap bersih. Itu yang membuat aku kagum.
Aku, dan Hasan, mulai memahami kenapa
Mat Kriwul melarikan diri dari pelajaran. Ternyata Mat Kriwul tinggal sendiri
di rumahnya. Kedua orangtua dan adiknya terpaksa pulang kampung karena
pengurangan pekerja di perusahaan.
“Dampak covid dua tahun lalu”, celotehnya.
Mereka memilih menggarap sawah dan
mengurus ternak peninggalan kakeknya di kampung. Untuk memenuhi beaya hidup, si Kriwul bekerja
paruh waktu di perusahaan sablon dan percetakan milik tetangga
desanya. Kriwul sering bekerja sampai larut untuk menyelesaikan orderan
di tempatnya bekerja.
Terkadang Sabtu sore atau hari Minggu dia ikut
lembur
memperbaiki AC, kulkas, atau mesin cuci pada usaha milik kenalan bapaknya.
Tidak heran jika Kriwul sering mengantuk dan tidur di gudang belakang.
Aku juga mengetahui alasan lain kenapa
si Kriwul sering membolos dari pelajaran. Itu pun pada beberapa mata pelajaran tertentu
saja. Aku tidak tahu apakah itu hanya versinya si Kriwul atau memang seperti itu. Info
dari siswa lain tampaknya senada dengan apa yang disampaikan Kriwul.
Beberapa kali dia menyatakan bahwa sebagian guru harus berubah
atau diganti. Ini sebagian dari yang disampaikan Kriwul kepadaku:
“Cara mengajarnya nggak
asyik. Menjemukan. Hanya duduk di meja,
ngomong ngalor ngidul tidak jelas arahnya.”
“Sukanya marah-marah kalau aku atau teman-teman lain tidak bisa” Termasuk ungkapan ini juga:
“Tahu nggak Lek, susah-susah ngumpulkan tugas, eh malah ditagih lagi. Katanya belum.
Dikoreksi apa nggak sih?”
“Ujung-ujungnya disuruh ngerjakan
soal di buku latihan terus dikumpulkan.
Kalau tidak mau, tidak akan dapat
nilai. Payah!”
Ketika
kutanya apa yang dia inginkan,
Kriwul dengan mantap menjawab bahwa dia lebih senang jika pelajarannya tidak terlalu banyak.
Ada beberapa pelajaran atau materi yang perlu
dihilangkan. Dia yakin saat bekerja nanti, materi pada mata pelajaran tersebut
tidak digunakan.
“Itu tidak mungkin
Wul. Lebih baik kamu ikuti saja semampumu. Yang penting kamu bisa
lulus dan punya ijazah.” Sergah Hasan yang juga ikut mendengarkan.
“Kalau hanya ijazah, di kejar paket juga bisa, Cak.
Di kampung banyak. Ternyata laku untuk
kerja” bantahnya.
“Apa kamu ingin pindah?”
“Ya, Lek. Wis terlanjur gak krasan. Jika terus di sini, bisa-bisa tidak naik kelas lagi”
Aku dan Hasan terdiam.
Lebih lanjut Kriwul menyampaikan dia
ingin mengembangkan ketrampilannya. Dia bermimpi bisa mempunyai usaha
percetakan sendiri. Atau memiliki bengkel servis sendiri. Entah itu servis AC dan
kulkas atau servis motor.
Dia menyampaikan bahwa di tempatnya nyambi bekerja, juragannya sering
mengajarinya program menggambar desain. Dia sering diminta
membuat desain poster atau desain sampul buku. Ini bagi si
Kriwul jauh lebih menantang dan menyenangkan.
*****
Sudah tiga hari aku tidak melihat Kriwul di sekolah. Ketika aku mengajar, dia juga tidak hadir. Semua
siswa juga tidak tahu keberadaannya. Di saat aku mengajar kulihat ada pesan
masuk di telponku. Kepala sekolah ingin bertemu denganku siang ini. Aku pun
melanjutkan aktifitasku. Namun rasa penasaran itu masih ada. Meski sering
membolos, namun pada pelajaranku Kriwul selalu hadir.
Aku tidak tahu apa yang menyebabkan dia
tidak tampak selama beberapa hari. Rencanaku untuk berbicara dengannya seusai
peristiwa di ruang guru belum kesampaian karena undangan kedinasan mengikuti
TOT selama tiga hari. Aku sudah kuatir
bahwa masalah di ruang guru
akan berekor. Aku kuatir muridku ini gagal naik ke jenjang kelas akhir.
Aku masih ingat ketika Kriwul dimarahi,
dia lebih banyak tertunduk dan tidak banyak berbicara. Namun kulihat ekspresi
kekecewaannya. Masih terbayang keberaniannya menyatakan mengapa meninggalkan
pelajaran. Sedikit sekali yang berani menyatakan ketidaksukaannya kepada
gurunya secara langsung. Sayangnya rekan-rekan seolah lupa mereka adalah
pendidik. Seolah yang berdiri di hadapannya adalah musuh yang harus dikalahkan. Apalagi
ketika Kriwul menyatakan ingin keluar dari sekolah ini. Kenapa aku kurang
gigih membelanya, malah cenderung terbawa rasa kesal dengan sikapnya.
Ketika menuju ke ruang guru,
aku melihat Pak Gino sedang
menyirami tanaman.
Kuhampiri Pak Gino karena
aku ingat Jauhari sering tidur
di gudang kebun belakang.
“Pak Gino, bisa kita bicara sebentar?”
Kami
pun segera menuju
ke gazebo terdekat. Aku pun segera
bertanya kepada Pak Gino
tentang Mat Kriwul, karena aku menduga bahwa panggilan dari kepala sekolah mungkin
berkaitan dengan hal ini.
Betapa terkejutnya aku ketika Pak Gino
menyampaikan banyak hal yang diketahuinya tentang Kriwul. Pak Gino menceritakan
yang dilakukan oleh Jauhari ketika dia melarikan diri dari pelajaran. Dia
menceriterakan alasan kenapa Kriwul sering meninggalkan pelajaran tertentu dan
memilih tidur atau membantu merawat tanaman.
Pak Gino juga menyampaikan pendapatnya
bahwa Kriwul ini adalah anak yang cerdas dan punya keterampilan lebih.
Khususnya di bidang perawatan tanaman, melukis desain, serta memperbaiki mesin
pemotong rumput. Diceritakan pula keinginan Kriwul memiliki usaha sendiri serta
tekad Kriwul untuk keluar dari sekolah.
“Kenapa tidak lapor kepada
saya dari dulu, Pak. Saya kan
wali kelasnya?”
Pak Gino mengatakan jika dia atau Pak Hasan memberitahukan hal ini kepada
guru lain, maka dia kuatir
Kriwul tidak akan mau sekolah lagi, seperti yang pernah disampaikan oleh Kriwul.
“Sekali lagi maaf, Pak. Saya juga sudah
menceritakan semua yang saya tahu tentang Kriwul kepada Ibu Kepala Sekolah.
Tadi, pagi-pagi sekali saya dan Hasan sudah dipanggil ke kantor beliau.”
“Lalu, …?”
“Saya
dan Hasan sempat
ditegur beliau, Pak. Tapi setelah
itu beliau meminta
kami untuk menunjukkan apa
saja yang sudah dikerjakan Kriwul di gudang dan kebun belakang.”
Saya hanya terdiam mendengar ini.
*****
Ketika aku masuk kantor kepala sekolah, ternyata sudah hadir Pak Wawan, guru BK. Kepala sekolah segera menyampaikan tujuan beliau memanggil kami, Pak Wawan dan Aku, untuk membicarakan tentang Ahmad Jauhari.
“Mohon maaf Bapak-bapak. Saya dengar ada
masalah terkait dengan murid Panjenengan,
… Ahmad Jauhari atau yang lebih dikenal Mat Kriwul. Ada apa sebenarnya?
Barangkali Bapak-bapak mengetahuinya?”
Beliau menghentikan sejenak kalimatnya sambil menatap ke arah kami dan menunggu
reaksi kami.
Saya
pun segera memberitahukan apa yang saya ketahui, termasuk
juga informasi yang saya peroleh dari Pak Gino dan Pak
Hasan, tukang kebun sekolah.
Mendengar hal ini, Kepala sekolah meminta kami untuk melacak keberadaan Jauhari.
Beliau berpesan agar kami berupaya untuk
mengajaknya kembali bersekolah lagi.
“Ini
menjadi bahan evaluasi
dan refleksi diri untuk kita semua. Ah, … ternyata
masih ada pekerjaan besar
yang harus kita lakukan. Begitu kan, Pak?” Begitu ucapnya sambil memandang ke
arah kami.
Kami pun pamit dan segera mencari data alamat Mat Kriwul.
Menjelang waktu Ashar, kami tiba di
alamat yang kami cari. Tetapi rumah tersebut tampak kosong. Ketika kami
tanyakan tentang Ahmad Jauhari kepada warga yang sedang memperbaiki pintu di pos kamling. Bapak-bapak tersebut tampak kebingungan. Tetapi ketika Pak
Wawan menanyakan tentang Mat Kriwul, mereka pun tanggap dan menjelaskan kalau
Mat Kriwul sudah tidak tinggal di rumah itu lagi.
“Baru kemarin pagi pamitan. Katanya,
sih, mau pulang kampung menyusul Bapak dan Ibunya.” Kata seorang Bapak.
“Bapak tahu Kriwul pulang kampung ke mana?” Tanya Pak Wawan.
“Ngapunten Pak
guru, saya dan Bapak-bapak ini tidak tahu. Mungkin Pak guru bisa tanya
ke Juragan Badri pemilik percetakan di kampung sebelah. Selama ini dia kerja di
sana.”
Sesampainya di percetakan, kami tidak menemukan
keberadaan Kriwul. Pak Badri maupun pekerja di situ tidak ada yang tahu. Mereka
hanya menyampaikan bahwa kemarin pagi Kriwul pamit untuk berhenti. Saat
ditanya, Kriwul menjawab ingin mondok.
Pak Badri selama ini tidak pernah
menanyakan asal usul Kriwul. Beliau mau menerimanya bekerja paruh waktu karena
melihat bakat Kriwul. Namun dari percakapan kami dengan Pak Badri, kami
mendapat informasi yang berkesan.
Pak Badri sangat yakin bahwa Kriwul
adalah anak yang cerdas dan bertanggungjawab. Dia juga kreatif dan ringan
tangan sering membantu sesama pekerja di situ. Juragan Badri, menyampaikan
bahwa Kriwul dapat dengan cepat menyerap apapun yang diajarkan kepadanya.
Bahkan punya potensi untuk mengembangkannya.
“Bakat teknik dan grafisnya luar biasa.
Pekerja saya yang lulusan SMK kalah cepat belajarnya” itu yang disampaikan oleh
Pak Badri.
“Dia juga senang menata taman saya. Semua bonsai ini, dia yang
merawatnya”, sambil menunjukkan beberapa bonsai unik yang terlihat sudah cukup
tua.
“Oh ya, dia juga punya bakat memperbaiki
mesin. Sepeda motor karyawan saya sering diperbaikinya disaat ada masalah.
Tanyakan saja langsung kepada mereka”.
Beberapa pekerja
pun mengamininya.
“Sayang kalau anak sebaik dia tidak ada
yang ngopeni.” Ucap Pak Badri yang
terasa menohok nurani saya.
Kami
segera mohon diri. Besok kami akan menghadap
kepala sekolah. Entah bagaimana
responnya.
Tentang bagaimana
Mat Kriwul saat ini? Entahlah.
Aku tidak punya jawaban yang pasti.
Sedati, 11 Juli 2023
Glosari:
Panjenengan Anda (Bapak/Ibu)
Ngapunten Mohon maaf
Ngopeni merawat, mendampingi, membesarkan sebagaimana orangtua
merawat, mendampingi dan membesarkan anaknya
Didik Winarko mengawali karir sebagai guru di SMPN 2 Sedati Kabupaten Sidoarjo sejak tahun ajaran 1989/1990. Dia pernah beberapa kali terlibat dalam kegiatan pengembangan pendidikan, khususnya di bidang pembelajaran pada MGMP Bahasa Inggris SMP di Kabupaten Sidoarjo.
Di sela-sela tugas rutinnya dia senang
membaca karya sastra, buku tentang budaya, maupun menikmati pertunjukan
kesenian tradisional Jawa. Menonton film kartun dan animasi juga menjadi
kenikmatan sendiri untuk menghilangkan kejenuhan. Beberapa karya sastra, lakon
tertentu dalam pertunjukan tradisional bisa menjadi charger semangatnya dalam bekerja.
Untuk saat ini, dia berupaya untuk terus
mengajak rekan guru untuk menggiatkan literasi sekolah melalui kegiatan nulis
bareng dengan melibatkan siswa dan guru.
Sudah beberapa buku dihasilkan dari kegiatan ini. Selain
itu dia juga sudah menulis karya tunggal berupa buku kumpulan puisi pendidikan.
Catatan:
Alhamdulillah naskah ini
masuk dalam 100 karya guru terbaik
dalam GSM Nasional tahun 2024 yang
diselenggarakan oleh Nyalanesia.
Naskah ini adalah edisi naskah yang sudah saya sederhanakan dari naskah aslinya
yang ada di buku antologi cerpen berjudul:
NUSACERITA: 100 Cerpen Terbaik Tingkat Nasional yang dicetak
oleh Nyalanesia

