Jejak Spidol di Papan Tulis
Oleh: Didik Winarko
Di papan tulis ruang guru yang separuh terhapus, masih tertinggal jejak spidol membentuk garis samar tak sempurna – seperti sesuatu yang hendak dikenang, tapi juga ingin dilupakan. Hanif berdiri di depannya, sendirian. Di luar jendela, semburat warna jingga merambat pelan di antara pepohonan. Lalu ia duduk diam. Bukan karena lelah, tapi karena ada sesuatu – atau seseorang – yang membuatnya enggan pulang terlalu cepat.
Rani.
Guru Bahasa Indonesia yang tutur katanya selalu lembut, tapi tegas. Wajahnya tenang dengan sorotnya yang tajam, langkahnya anggun, seolah dunia berputar dengan ritme yang ia tentukan. Hanif sering berusaha menenangkan degup hatinya tiap kali rekan seangkatannya itu lewat, namun selalu gagal.
Hari sudah hampir habis. Namun Rani belum juga keluar dari ruang kelas sebelah. Mungkin masih membereskan lembar tugas, atau mungkin – Hanif tidak tahu pasti – masih sibuk dengan sesuatu yang membuatnya tampak jauh, bahkan ketika berada di ruangan yang sama.
Hanif menarik napas. Ada perasaan yang berdenyut, tak keras tapi bertahan tak ingin menghilang. Ia tak pernah menyebutnya cinta, karena kata itu terasa terlalu besar untuk seseorang sepertinya. Ia hanya tahu: kehadiran Rani membuat segala hal sederhana seperti: aroma kertas atau spidol, bel pergantian jam, dan cahaya sore menjadi berarti.
Ia
tahu, perasaan itu tak seharusnya dibiarkan tumbuh. Hanif tak pernah berani
menyebut perasaannya lebih dari sekadar “kagum”.
Tidak berani ia memimpikan lebih dari itu. Baginya,
itu saja sudah terlalu besar.
Hanif tahu batas. Ia tumbuh di tepi trotoar, di antara lalu lalang pengunjung pertokoan yang hendak menitipkan kendaraan. Doa, kerja keras, dan beasiswa membantu mengantarnya ke dunia persekolahan.
Ia paham tentang ketimpangan; beberapa orang tumbuh di halaman belakang yang penuh semak, sementara sebagian lain dibesarkan di beranda rumah megah dengan taman yang terawat. Dan Rani, ia berasal dari taman itu.
Latar belakang yang bagai bumi dan langit membuat Hanif memilih diam. Namun meski begitu, Hanif tetap saja selalu ada setiap kali Rani memerlukan bantuan. Entah membantu menyiapkan administrasi guru, menyiapkan proyektor, atau sekadar membawakan setumpuk berkas ke ruang penyimpanan dokumen.
Ia tak pernah mengeluh. Tak pernah berharap
imbalan. Ia hanya ingin ada alasan untuk berada
di dekatnya, walau sebentar.
***
Sebulan sekali, Hanif menghadiri pertemuan forum guru mata pelajaran di ibu kota kabupaten. Biasanya ia menikmati kegiatan itu. Tapi hari itu, langit tampak lebih redup dari biasanya. Udara pun terasa gerah menyiksa.
Di
sela jeda acara, Ratri – teman sekampus yang kini mengajar di sekolah di
kecamatan lain, dan juga masih terhitung kerabat Rani – menatapnya dengan
sesuatu yang menyerupai iba.
“Nif,” katanya, “kamu tahu, Rani sudah bertunangan? Kami sekeluarga kemarin diundang acara tasyakurannya”
Kata-kata itu jatuh pelan, tapi membelah sesuatu di dalam diri Hanif.
Ia tersenyum, atau setidaknya mencoba untuk tersenyum. “Oh… begitu.”
Ratri mengangguk. “Mereka belum mau banyak orang tahu. Hanya pihak keluarga dan kerabat saja yang tahu.”
Hanif
mengangguk pelan. Lalu diam. Di dadanya, sesuatu bergetar – tidak meledak,
tidak menangis. Hanya retak perlahan. Seperti kaca yang menerima ketukan
lembut, tapi cukup untuk membuat garis halus menjalar ke seluruh permukaannya.
Hanif
tak berkata apa-apa untuk waktu yang lama. Hening sesaat, lalu ia tersenyum.
Dengan suara yang nyaris tak terdengar, ia berucap, “Kalau begitu selamat semoga dia bahagia.”
Ratri ingin mengatakan sesuatu, tapi ia tahu percuma. Ia paham isyarat ekspresi wajah dari sahabatnya ini. Ia tahu selama menjalani perkuliahan bersama, Hanif bukan tipe yang suka mengeluh. Di balik senyum tenangnya, Ratri bisa membaca luka yang dalam.
Beberapa hari setelah itu, Hanif kembali ke rutinitas. Namun, setiap detiknya terasa sunyi. Ia masih membantu Rani seperti biasa, tetap tersenyum, tetap sopan. Ia masih membantu menatakan berkas, mengambilkan media ajar dari rak penyimpanan, atau mengisikan ulang tinta spidol.
Tapi di antara semua hal itu, ia seperti berjalan di ruang yang makin sunyi. Ada sesuatu yang perlahan mati; harapan yang selama ini tumbuh diam-diam, kini harus ia kubur tanpa nisan.
Suatu sore, sesaat sebelum
pulang, Rani menatapnya dan tersenyum. “Mas Hanif, makasih ya. Selama
ini sudah sering membantuku. Aku jadi nggak terlalu kewalahan.”
Hanif menatapnya sejenak, mengangguk sambil tersenyum.
“Sama-sama, Bu Rani.”
“Maaf ya, sudah terlalu sering merepotkan”
“Ah, nggak apa-apa, Bu Rani. Saya senang bisa bantu.”
Ia
ingin bilang sesuatu – mungkin sekadar kalimat “hati-hati di jalan” – tapi
kata-kata itu tak jadi keluar. Ada yang menahannya di tenggorokan. Akhirnya,
yang tersisa hanya senyum kecil yang tak sempat sampai ke mata.
Dan ruang guru pun menjadi
begitu sunyi.
***
Malam itu, di kamar kontrakan kecilnya, Hanif duduk di depan jendela. Dibiarkannya angin malam menyapa dirinya. Di luar, langit begitu jauh, tapi entah kenapa terasa dekat. Ingin diraih namun tidak pernah bisa.
Ia menatap bintang-bintang yang tak bergerak, seolah sedang menunggu sesuatu yang sudah lama berlalu. Ia teringat sesuatu yang dulu pernah dikatakan dosennya, “Sebagian cinta diciptakan bukan untuk dimiliki, tapi untuk menumbuhkan seseorang menjadi lebih kuat.”
Hanif menghela napas, lalu berbisik pelan, “Semoga kau bahagia, Ran.”
Ia menyalakan laptop – propertinya yang paling berharga, sebuah bentuk penghargaan dari rektornya dulu. Ia mulai menyiapkan rencana pelajaran untuk besok.
Sementara itu, di papan tulis kelas, sisa spidol yang ia biarkan seusai mengajar tadi kini perlahan memudar. Begitulah kenangan – tak pernah benar-benar hilang, hanya semakin menipis bersama waktu.
Esok pagi, ia akan kembali mengajar, menatap wajah murid-muridnya, menghapus papan, dan menulis lagi di atasnya. Sampai suatu hari nanti, mungkin ia sendiri pun tak lagi ingat, di garis yang mana dulu namanya pernah tertulis diam-diam di hati seseorang.
