MENAKAR KETULUSAN WARGA KAMPUNG (2)

Sumber gambar: https://www.rri.co.id/daerah/657165/rewangan-tradisi-gotong-royong-yang-tetap-harus-dilestarikan

MENAKAR KETULUSAN WARGA KAMPUNG (2)

Oleh: Dr. Ng. Tirto Adi MP, M.Pd )*

KETIKA kami keluarga berniat untuk menjalankan ibadah umroh, sudah sepakat bersama untuk tidak memberitahukan kepada siapapun, termasuk teman staf kantor, kecuali keluarga dekat. Entah dari siapa sumber itu berasal, rencana keberangkatan kami untuk ber-umroh terdengar oleh tetangga. Kami tinggal, secara administratif di wilayah kelurahan. 

Tetapi secara sosio-kultural, budaya masyarakat kami masih bertipikal perdesaan. Karena perdesaan, budaya masyarakat bercirikan yang oleh Ferdinand Tonnies (1887) dalam bukunya Gemeinschaft und Gesellschaft dikatakan sebagai masyarakat desa (gemeinschaft), yang bersifat erat, intim, personal, rasa kebersamaan kuat, dan jiwa emosional-saling percayanya tinggi.

Agak berbeda dengan masyarakat perkotaan (gesellschaft) yang bersifat patembayan, masyarakat desa begitu guyub-rukun. Karena itu para ahli ilmu sosial menyebut masyarakat desa sebagai tipikal masyarakat paguyuban. Meski tipologi Tonnies yang bersifat diametral-dikotomis antara masyarakat perdesaan vis a vis masyarakat perkotaan ini tidak sepenuhnya tepat, tapi tipologi masyarakat ala Tonnies inilah yang paling faktual dan banyak diikuti untuk mendeskripsikan kondisi sosial-budaya masyarakat.

Memang tidak semua masyarakat kota (juga yang biasa tinggal di perumahan) itu egois. Pun pula, dengan masyarakat desa (yang biasa tinggal di perkampungan), tidak seluruhnya juga bersifat altruis. Tetapi jika digambarkan secara umum, rasa guyub-rukun masyarakat desa (perkampungan) memang tampak lebih kuat dibandingkan dengan masyarakat kota (perumahan). Kondisi ini dapat diamati dengan jelas, bagaimana masyarakat desa begitu guyub-rukun saat ada anggota keluarga yang membangun rumah misalnya. Atau juga saat ada hajatan maupun musibah kematian.

Dalam budaya kerja bakti "duduk pademi", para tetangga begitu tulusnya ikut membantu menggali tanah sampai pondasi rumah itu terwujud. Tetangga yang membantu tidak pernah kepikiran untuk mendapatkan upah. Sementara orang yang membangun rumah, cukup menyediakan makan-minum sesuai dengan kemampuannya. Hanya dalam kurun waktu belakangan saja, berkembang, jika yang membangun rumah dari keluarga mampu, tuan rumah secara sukarela memberikan sekedar "amplop ganti lelah" di samping "berkatan" yang merupakan tradisi lama masyarakat desa. 

Dalam kegiatan hajatan (apakah khitanan, mantenan atau hajat yang lain), "budaya rewang", masih cukup kental pada masyarakat desa. "Budaya rewang" adalah aktifitas saling membantu antartetangga ketika ada tetangga yang punya hajat, mulai dari prahajatan, saat hajatan berlangsung sampai dengan pasca hajatan. Banyak ragam bantuan yang dilakukan, mulai dari pendirian terop, terima tamu, pramusaji makanan-minuman sampai dengan bersih-bersih rumah hingga cuci piring pasca hajatan berlangsung. Bahkan pada masyarakat perkampungan tertentu, "budaya delehan" hingga kini masih ada yang bertahan. "Budaya delehan" adalah tradisi saling membantu antartetangga, yang biasanya berwujud natura, seperti minyak goreng, beras, gula, minuman kotak/botolan, kacang, mlinjo, dan lainnya.

Ketika ada musibah kematian misalnya, pada masyarakat kampung masih bertahan dengan kuat hingga kini "budaya nyelawat" (melayat atau takziah). "Budaya nyelawat" adalah tradisi mendatangi rumah tetangga yang mendapat musibah kematian untuk ikut membantu memandikan, mengkafani, mensholati hingga mengantarkan jenazah sampai ke liang kubur. Tradisi ini sejalan dengan nasihat para ulama/kiai sepuh yang juga dianjurkan oleh Nabi SAW ketika ada saudara sesama muslim meninggal dunia secara kifayah kita wajib untuk takziah.

Virus "quid pro quo"

Lalu, bagaimana dengan kondisi sosial-budaya masyarakat perkotaan (patembayan)? Apakah sifat-sifat guyub-rukun dan sikap positif lainnya telah sirna? Tentu tidak demikian halnya. Hanya saja jika digambarkan secara umum, sikap guyub-rukun masyarakat desa memang lebih kental dibandingkan dengan masyarakat kota. Dan hal ini, sesungguhnya dapat dimafhumi bersama.

Berbeda dengan masyarakat desa, masyarakat kota secara sosiologis biasanya lebih beragam latar belakangnya. Keragaman itu diakibatkan oleh adanya perbedaan: asal daerah/wilayah, suku, budaya, agama, pekerjaan, tingkat sosial ekonomi, termasuk perbedaan tingkat pendidikan. Jadi masyarakat kota lebih heterogen dibanding masyarakat desa yang cenderung homogen. 

Heterogenitas itulah yang menjadi salah satu penyebab berkurangnya rasa guyub-rukun antarwarga masyarakat. Karena tuntutan pekerjaan dan kebutuhan, misalnya, yang kadang ada anggota masyarakat kota yang berangkat kerja sebelum matahari terbit dan pulang kerja setelah matahari terbenam. Karena tingkat pendidikan yang lebih beragam, secara sosiologis masyarakat kota lebih nampak individualis (beda dengan egois, loh) dibanding masyarakat desa. 

Akibat pengaruh ideologi kapitalis-materialistik yang setiap waktu terus merambah, terkadang dapat menggerus sikap-sikap sosio-humanis antarwarga. Aktifitas warga yang semula berdasar ketulusan, berubah menjadi harus ada balasan. Giat bantuan yang awalnya tidak perlu ada apa-apanya, sekarang beralih harus ada apa-apanya ketika membantu.

Virus quid pro quo dalam frasa bahasa Latin, yang berarti "sesuatu untuk sesuatu" atau "ini untuk itu" kian menjangkiti masyarakat moderen. Frasa ini menggambarkan masyarakat yang terpengaruh ideologi kapitalis-materialistik dimana setiap aktifitas harus dibarengi dengan pertukaran barang, jasa, bantuan, atau hal lain yang dianggap bernilai. 

Mereka akan datang ketika ada kepentingan. Saat seseorang memiliki tahta-kuasa dan harta, berbondong mereka datang menghamba. Tetapi bila otoritas itu telah sirna, secara bersama mereka akan meninggalkannya. Itulah ciri dari masyarakat yang telah terjangkiti virus quid pro quo. Adagium "tidak ada makan siang gratis" atau pepatah "time is money" sepertinya menjadi alibi baru dalam meneguhkan ideologi kapitalis-materialitik itu.

Karenanya, sungguh kami bersyukur, tinggal di wilayah kelurahan tetapi secara sosio-kultural masyarakatnya masih mempertahankan nilai-nilai paguyuban. Mereka datang tanpa diundang: tetangga RT/RW, jamaah mushola/masjid, jam'iyah yaasiin/tahlil/istighotsah, teman-teman beragam komunitas/organisasi termasuk teman staf kantor untuk mendoakan agar kami dan keluarga senantiasa sehat, bisa berumroh dengan selamat, nyaman dan mabrur.

Sedikitpun kami tidak melihat ada yang terjangkiti virus quid pro quo. Mereka datang dan berdoa bukan karena status orang yang disandang. Tapi mereka datang karena ketulusan pancaran sinar Ilahiyah dan tuntunan Rasul-Nya. Sepertinya memang, kita perlu banyak belajar ketulusan genuine dari warga kampung yang selama ini kerap diminirkan. Bukankah begitu?!

 

Catatan Ibadah Umroh (31 Januari - 13 Februari 2025)

* Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sidoarjo & Doktor Manajemen Pendidikan Universitas Negeri Malang
Previous Post Next Post