Membaca dan Kesehatan Mental: Pengaruh, Bukti Riset, dan Pendapat Ahli
Oleh : Yupiter Sulifan
(Ketua Bidang Penulisan dan Editing Pengurus GBL Sidoarjo)
Kesehatan mental remaja menjadi isu penting di tengah tekanan sosial dan perkembangan teknologi digital yang pesat. Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena ini semakin mencuat terutama pada kelompok yang dikenal sebagai Strawberry Generation, generasi muda yang tumbuh di era media sosial dan sering dianggap mudah rapuh secara emosional.
Data menunjukkan bahwa lebih dari 31 juta penduduk Indonesia berusia di atas 15 tahun mengalami gangguan mental, dengan 19 juta di antaranya mengalami gangguan emosional dan 12 juta menderita depresi. Kondisi ini menunjukkan urgensi penanganan kesehatan mental sejak usia remaja.
Membaca adalah keterampilan dasar yang memungkinkan seseorang mengakses bentuk literasi lainnya, seperti menulis, berbicara, dan menghitung. Tanpa kemampuan membaca, bentuk literasi lainnya sulit untuk dikembangkan.
Membaca bukan hanya menjadi hobi atau sarana hiburan. Banyak penelitian menunjukkan bahwa kegiatan membaca buku memiliki manfaat nyata bagi kesehatan mental, mulai dari menurunkan stres, meningkatkan empati, memperbaiki konsentrasi, hingga membantu mengatur emosi.
Salah satu penelitian yang paling sering dikutip berasal dari Mindlab International untuk University of Sussex. Studi tersebut menemukan bahwa membaca selama enam menit saja dapat mengurangi tingkat stres hingga 68 persen, lebih efektif dibandingkan minum teh, mendengarkan musik, atau berjalan santai (Aspirasi Journal).
Aktivitas membaca membantu menurunkan detak jantung dan membuat otot-otot lebih rileks menjadi cara yang baik untuk menenangkan pikiran dan tubuh setelah menghadapi tekanan sehari-hari (Medicastore).
Tidak hanya memberikan efek relaksasi, membaca juga dapat menjadi salah satu cara mengatasi tekanan emosional. Pendekatan terapi menggunakan buku, yang disebut Biblioterapi, telah diteliti dan diterapkan untuk membantu individu dengan depresi ringan atau stres.
Sebuah studi tinjauan menunjukkan bahwa biblioterapi dapat membantu mengurangi gejala depresi dan meningkatkan kesejahteraan psikologis pada remaja maupun orang dewasa (E-Journal STIKES Telmaris MKS).
Selain itu, membaca fiksi seperti novel, cerpen, atau karya sastra diketahui mampu meningkatkan empati dan kemampuan memahami perasaan orang lain. Sebuah studi pada tahun 2013 menemukan bahwa membaca fiksi dapat meningkatkan kemampuan theory of mind, yakni kemampuan memahami perspektif dan emosi orang lain. Kemampuan ini sangat penting dalam menjaga hubungan sosial dan kesehatan mental secara umum (Kompas).
Para ahli literasi dan psikologi juga menekankan pentingnya kualitas proses membaca. Dari perspektif literasi, membaca yang mendalam tidak hanya membaca cepat dapat mengasah ketajaman intelektual dan emosional. Melalui membaca, seseorang dapat mengalami refleksi, pemahaman baru, serta kedalaman makna terhadap kehidupan dan perasaan (Jurnal Yudharta).
"Membaca buku adalah salah satu cara terbaik untuk mengurangi stres dan meningkatkan kesehatan mental," kata Dr. David Lewis, penulis buku "The Brain Sell". "Membaca buku dapat membantu mengalihkan perhatian dari masalah dan memberikan kesempatan bagi otak untuk beristirahat."
"Membaca buku dapat menjadi salah satu cara untuk meningkatkan mood dan mengurangi gejala depresi," kata Dr. Philip Davis, penulis buku "The Reading Brain". "Membaca buku dapat membantu meningkatkan produksi serotonin, hormon yang terkait dengan mood dan kebahagiaan."
"Membaca buku merupakan salah satu cara terbaik untuk meningkatkan kemampuan kognitif dan mencegah penyakit mental," kata Dr. Gary Small, penulis buku "The Memory Bible". "Membaca buku dapat membantu meningkatkan produksi neuron dan meningkatkan kemampuan otak untuk beradaptasi."
Dalam konteks Indonesia, membaca juga berperan penting dalam meningkatkan literasi dan kesehatan mental. Buku-buku nonfiksi, psikologi populer, atau novel dengan tema kesehatan mental dapat membantu remaja memahami berbagai tantangan emosi, stres, serta cara menghadapinya. Dengan meningkatnya literasi, stigma terhadap gangguan mental dapat berkurang dan remaja menjadi lebih terbuka untuk berdiskusi maupun mencari bantuan bila diperlukan.
Bagi komunitas atau organisasi seperti GBL Sidoarjo, membaca merupakan cara yang sederhana dan terjangkau untuk merawat kesehatan mental. Contohnya: membuat klub baca tematik mengenai self-help, psikologi, atau fiksi reflektif; menyediakan buku di perpustakaan komunitas; atau menyelenggarakan diskusi buku baru karya komunitas dan sesi berbagi pengalaman. Kegiatan semacam ini dapat memperkuat solidaritas dan mengurangi rasa kesepian atau beban batin di kalangan remaja.
Kesimpulannya, membaca memiliki pengaruh positif yang luas terhadap kesehatan mental mulai dari menurunkan stres, meningkatkan empati, mempertajam fokus, hingga membantu mengelola tekanan emosional. Agar manfaatnya optimal, pemilihan jenis bacaan yang tepat dan kebiasaan membaca yang sadar menjadi kunci. Mengembangkan budaya membaca yang berkualitas adalah investasi sederhana, tetapi sangat bermanfaat bagi kesejahteraan batin.
Beberapa praktik sederhana yang dapat dilakukan : membaca 15 - 30 menit setiap hari, mengombinasikan bacaan fiksi yang menyenangkan dengan nonfiksi yang memberikan wawasan, serta membiasakan membaca buku fisik (bukan menggeser di layar telepon pintar) di malam hari untuk membantu relaksasi sebelum tidur. Dengan cara ini, waktu yang sedikit dapat memberi dampak besar dan bertahan lama bagi kesehatan mental.
Selamat membaca dan sehatlah mental remaja.