DARI HAMPIR PUTUS ASA MENUMBUHKAN MINAT BACA, HINGGA MENEMUKAN JALAN YANG TAK TERDUGA
Oleh: Habibur Rahman, S.Pd.
(Pengurus GBL Bidang Penerbitan)
Di akhir tahun 2025 ini, saya kembali merenungi perjalanan panjang sebagai koordinator Gerakan Literasi Sekolah. Ada satu kenyataan yang sejak awal menggelayut di benak: minat baca peserta didik masih rendah, bahkan cenderung berjalan di tempat.
Pojok baca dan perpustakaan sekolah kami sebenarnya terisi penuh oleh buku-buku pengembangan diri dan buku ilmiah populer. Tetapi ternyata, buku-buku itu lebih sering menjadi pajangan disbanding menjadi sahabat belajar.
Setiap jam baca pagi, saya melihat murid-murid membaca hanya sekadar menggugurkan kewajiban. Atau ketika jam istirahat, saya melihat murid-murid lebih memilih bercanda, bermain, atau sekadar tidur di meja. Sementara rak-rak buku tetap berdiri tanpa disentuh. Hati saya tergerak: ada sesuatu yang harus diubah. Tapi apa?
Sebuah Inspirasi dari Rumah Kakak
Kakak pertama saya adalah seorang dokter gigi sekaligus dosen kedokteran gigi di Universitas di Surabaya. Dia mempunyai 2 anak. Anak yang pertama duduk di bangku SMP kelas 8, anak yang ke-2 duduk di bangku SD kelas 6.
Suatu hari, saya bermain ke rumahnya untuk menambal gigi yang berlubang. Seperti biasa, rumahnya ramai oleh suara keponakan dan anak saya yang sedang bermain kejar-kejaran.
Namun, hari itu ada sesuatu yang berbeda. Keponakan saya yang pertama sedang asyik di meja belajarnya. Ia tenggelam dalam sebuah novel tebal sambil senyum-senyum sendiri.
Pensaran, saya bertanya mengapa ia begitu suka membaca.
Kakak saya menjelasakan bahwa mereka memiliki kebiasaan membaca novel bersama di rumah. Setiap hari libur atau ketika senggang, mereka berkumpul di teras belakang sebelah taman.
Di teras itu ada sebuah meja bundar dan 4 kursi melingkar. Di samping teras ada taman yang memiliki pohon besar yang lebat daunnya. Ada beberapa tanaman-tanaman hias yang tertata rapi membatasi antara teras dan taman.
Di situlah mereka berkumpul, masing-masing membawa buku, lalu saling cerita tentang apa yang mereka baca. Tanpa banyak teori, tanpa paksaan. Hanya kebiasaan yang tumbuh alami, penuh kehangatan dan menyenangkan.
Ketika saya memeriksa lemari bukunya, saya terkejut. Koleksi novel ponakan saya sangat banyak: fiksi remaja, petualangan, misteri, hingga novel-novel populer karya Tere Liye yang sedang digandrungi.
Di situ saya tersadar, murid-murid saya bukan tidak suka membaca. Mereka hanya belum menemukan buku yang membuat mereka jatuh cinta. Ditambah lemahnya budaya literasi di lingkungan keluarga. Padahal dorongan berliterasi terkuat itu diawali dari rumah.
Menghadirkan Novel ke Sekolah
Berangkat dari pengalaman itu, saya pulang dengan sebuah tekad baru. Saya memutuskan untuk membawa seluruh novel yang saya punya ke sekolah. Tidak hanya itu, kakak dan keponakan saya juga dengan senang hati meminjamkan koleksi novel mereka untuk mendukung gerakan ini.Rak pojok baca saya pun berubah wajah. Kini tidak hanya diisi buku-buku ilmiah, tetapi juga deretan novel berbagai genre yang lebih dekat dengan dunia remaja: kisah persahabatan, petualangan, fantasi, romansa ringan, komedi, hingga politik.
Awalnya hanya lima orang peserta didik yang malu-malu bertanya, “Ustadz, ini ceritanya tentang apa ya?” Mereka mulai membuka halaman pertama, membaca blurb, lalu penasaran. Tidak sampai seminggu, jumlah yang datang bertambah. Mereka mulai duduk di ruangan saya sepulang sekolah, membaca dalam diam, lalu ketiduran. Heheh.
Ruang yang biasanya sepi kini dipenuhi suara gelak tawa, diskusi kecil, bertengkar rebutan buku, mengurut nomor antrian peminjaman yang tak tertulis, dan – yang paling membahagiakan bagi seorang guru – suara lembar kertas yang dibalik.
Novel-novel itu menjadi “jembatan” yang membawa mereka masuk ke dunia membaca. Mereka datang bukan karena disuruh, tetapi karena ingin. Mereka membaca bukan karena tugas, tetapi karena kesenangan.
Dari Kebiasaan Kecil Menjadi Gerakan Bersama
Gerakan kecil ini kemudian berkembang menjadi kultur baru. Murid-murid mulai meminjam buku untuk dibawa pulang. Mereka saling merekomendasikan cerita yang menarik. Mereka membuat daftar bacaan sendiri. Bahkan beberapa mulai mencoba menulis cerita pendek versinya sendiri tanpa diminta.
Saya melihat satu hal penting: Minat baca tumbuh ketika membaca menjadi pengalaman emosional, bukan hanya akademik.
Dan semua itu bermula dari satu hal sederhana: menghadirkan buku yang tepat dalam momen yang tepat.
Sebagai pengingat di penghujung tahun ini, untuk saya dan teman-teman guru seperjuangan.
Literasi bukan sekedar kemampuan membaca. Ia adalah pintu menuju cara berpikir yang luas, pembentukan nalar yang kritis, dan lebih bijak. Menumbuhkan minat baca tidak cukup hanya dengan menyediakan buku—kita perlu menyediakan pengalaman, kedekatan, dan kesenangan dalam membaca.
Kita tidak perlu menunggu fasilitas yang sempurna. Terkadang gerakan besar dimulai dari langkah yang sederhana. Dari satu buku. Dari satu kebiasaan. Dari satu anak yang mulai jatuh cinta dengan bukunya. Semoga gerakan kecil ini terus tumbuh. Semakin banyak anak-anak menemukan rumah baru dalam buku-buku yang mereka baca. Dan semoga literasi bukan hanya sebuah program, tetapi budaya yang hidup di sekolah kita.

